PERTAMBANGAN
DAN ENERGI
A. PENDAHULUAN
Pasal 33
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Amanat UUD 1945 ini merupakan landasan pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan
potensi kekayaan
sumber daya alam mineral dan energi yang dimiliki secara optimal dalam mendukung
pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Penyelenggaraan kegiatan pertambangan dan energi telah
mengalami perjalanan yang panjang sejak sebelum merdeka, dalam masa kemerdekaan, dan hingga
mencapai keadaan sekarang ini. Pada awal kemerdekaan, kegiatan pengelolaan pertambangan dan
energi menghadapi
berbagai kesulitan dan tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang usaha ini. Di beberapa tempat, fasilitas pertambangan dan
energi dibumihanguskan agar tidak
dapat dipakai oleh kekuatan kolonial. Walaupun demikian, kegiatan di bidang ini
tidak dapat dikatakan
lumpuh sama sekali. Pada masa itu bangsa Indonesia telah mampu memproduksi minyak bumi
sebanyak 6.000 barel per hari, batubara 37.000 ton per tahun, timah 1.050 ton
per tahun, serta memproduksi tenaga listrik yang berasal dari pembangkit tenaga
listrik perusahaan
swasta yang dinasionalisasi dan milik pemerintah sebesar 504.000 MWh. Penyediaan listrik ini
dilakukan oleh perusahaan listrik dan gas yang diambil alih dari pemerintah pendudukan Jepang dan selanjutnya
diberi nama Jawatan Listrik dan Gas. Kemudian
dengan Penetapan Pemerintah Nomor 1/S.D. Tahun 1945, jawatan ini dimasukkan ke dalam struktur
Departemen Pekerjaan
Umum. Penting untuk dicatat pula adalah berhasilnya upaya penyelamatan dokumen dan peta
kekayaan tambang dan mineral Indonesia, yang kemudian menjadi modal utama dalam
pencarian kekayaan
mineral serta membangun sektor pertambangan dan energi.
Setelah
pengakuan kedaulatan pada bulan Desember 1949, semua saham perusahaan minyak milik
pemerintah kolonial Belanda dialihkan ke Pemerintah Indonesia. Kegiatan di sektor pertambangan dan energi mulai dilakukan
kembali dengan merehabilitasi dan mengelola instalasi-instalasi yang dibangun
di jaman penjajahan. Namun kegiatan eksplorasi dan produksi masih sangat
terbatas. Kegiatan penyelidikan geologi, eksplorasi dan hasil pertambangan
dalam periode ini belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Sementara itu
kapasitas penyediaan tenaga listrik menunjukkan peningkatan dengan dilakukannya
perbaikan dan pembangunan beberapa pembangkit tenaga listrik. Sesuai dengan
perkembangan pada saat itu, Jawatan Listrik dan Gas diganti namanya menjadi Jawatan Tenaga pada tahun 1950
dengan tugas mengelola perusahaan listrik
dan gas bekas milik pemerintah Belanda; sedangkan perusahaan listrik dan gas swasta dikembalikan kepada
pemiliknya semula, sesuai
hasil persetujuan Konferensi Meja
Bundar (KMB). Selanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 163 Tahun
1953 tentang nasionalisasi perusahaan listrik milik bangsa asing di Indonesia
jika waktu konsesinya habis. Beberapa perusahaan listrik dan gas swasta Belanda
yang dinasionalisasikan pada saat itu dimasukkan ke dalam Jawatan Tenaga.
Sementara itu, di bidang. pertambangan minyak pada tahun
1950 telah
diselesaikan pengeboran 6 sumur pengembangan atau sumur produksi di Minas, yang
di kemudian hari ternyata merupakan lapangan minyak terbesar yang pernah
ditemukan di Indonesia; bahkan
merupakan salah satu lapangan minyak raksasa di dunia.
Di bidang pertambangan umum, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi
perusahaan pertambangan milik Belanda merupakan peristiwa penting bagi pembangunan pertambangan
selanjutnya. Pada tahun 1959 semua perusahaan Belanda antara lain perusahaan
tambang batubara, timah, emas, dan bauksit ditetapkan pengelolaannya oleh Biro
Urusan Perusahaanperusahaan Tambang Negara (BUPTAN). Konsesi-konsesi
pertambangan sejak perang kemerdekaan yang tidak diusahakan lagi atau baru
diusahakan dalam tahap permulaan dikenakan pembatalan hak-hak pertambangan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959. Daerah-daerah bekas konsesi yang dibatalkan hanya dapat diusahakan oleh perusahaan negara atau
perusahaan milik
daerah Swatantra.
Di bidang ketenagalistrikan,
Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 tentang
nasionalisasi perusahaan listrik dan gas milik Belanda. Untuk kelancaran proses
nasionalisasi
dibentuk Penguasa Perusahaan-Perusahaan Listrik dan
Gas (P3LG) yang berada di bawah
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Pada tahun
1960 Pemerintah mencanangkan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang
disusun oleh Dewan Perancang Nasional. Pembangunan ini dimulai dengan membangun
industri berat, meliputi proyek besi. baja, semen, superfosfat, dan
industri dasar lainnya.
Untuk mendukung upaya pembangunan tersebut, telah dilakukan berbagai kegiatan penyelidikan geologi di beberapa daerah dalam upaya menemukan bahan baku mineral logam
untuk memenuhi
kebutuhan berbagai industri tersebut. Selain itu, giat dilakukan eksplorasi batubara, dolomit, batu
gamping, kwarsa serta bahan galian untuk
keperluan bahan bangunan, industri keramik, dan industri kimia dengan pengelolaan dibawah
Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan.
Pembangunan di bidang migas mulai berkembang ke arah baru
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960, yang menetapkan
bahwa kekuasaan mengusahakan pertambangan minyak dan gas bumi diselenggarakan
oleh Pemerintah. Wewenang pengusahaan pertambangan migas tersebut diberikan
kepada Perusahaan Negara dalam bentuk kuasa pertambangan. Sebagai pelaksanaan Undang-Undang
tersebut, pada tahun 1961 dibentuk tiga perusahaan negara yang ditugaskan melaksanakan usaha
pertambangan minyak dan gas bumi. Ketiga perusahaan tersebut adalah Perusahaan
Negara (PN) Pertambangan Minyak Nasional (Permina) yang beroperasi di Sumatera
bagian Utara; PN Pertambangan Minyak Indonesia (PN Permindo) di Jambi dan Pulau
Bunyu Kalimantan Timur; dan PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN
Permigan) di Nglobo, Ledok, dan Semanggi,
Jawa Tengah,
yang kemudian dalam tahun 1968 digabung menjadi PN Pertamina. Sementara itu perusahaan minyak asing
bekas pemegang
hak konsesi dapat meneruskan operasinya sampai berakhirnya
tenggang waktu peralihan yang akan ditetapkan Pemerintah. Kepada perusahaan
asing tersebut diberikan prioritas untuk mengalihkan operasinya menjadi
kontraktor perusahaan negara dalam suatu Perjanjian Karya dengan perbandingan
pembagian hasil bersih 60 persen untuk Indonesia dan 40 persen untuk asing. Selanjutnya dalam tahun 1964 Perjanjian Karya ini disempurnakan
menjadi Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing (KPS) yang pada dasarnya
menetapkan pembagian
keuntungan tidak lagi dihitung atas hasil penjualan minyak, tetapi atas produksi minyak dengan perbandingan
pada awalnya 65 persen untuk Indonesia dan 35 persen untuk kontraktor. Di samping itu manajemen operasi berada
dalam tangan perusahaan negara.
Di bidang
kelistrikan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 dibentuk
Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada
tahun 1961. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun
1961 dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) yang
menempatkan perusahaan listrik dan gas berada dalam satu wadah. Selanjutnya,
dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1965, PLN dan
Perusahaan Gas Negara (PGN) masing-masing berdiri sendiri.
Perkembangan
penting lainnya di bidang perminyakan adalah diterimanya Indonesia sebagai
anggota OPEC (Organization
of Petroleum Exporting Countries) pada tahun 1962. Ketika terjadi krisis energi, organisasi ini terbukti
berperan sangat kuat dan penting dalam mengatur tataniaga penjualan minyak bumi di pasaran
internasional, antara lain dengan menetapkan kuota produksi minyak kepada para
anggotanya dalam upaya menghadapi resesi dunia dan mencegah merosotnya harga
minyak di pasaran dunia.
Walaupun mengalami masa-masa sulit sejak permulaan
kemerdekaan, pada awal Orde Baru, tahun 1968, minyak bumi mampu diproduksi sebesar 602.465
barel per hari, dan gas bumi 317 juta kaki kubik per hari. Penerimaan negara dari sektor
migas memberikan sumbangan sebesar 53 persen dari devisa yang dihasilkan, atau
22 persen terhadap penerimaan negara. Memasuki PJP I, hasil produksi minyak
bumi makin meningkat lagi.
Pada akhir PJP I produksi minyak bumi dan kondensat telah meningkat menjadi 1,6 juta bare]
per hari atau naik 2,5 kali lipat dibandingkan
produksi awal PJP I. Produksi tersebut dihasilkan antara lain oleh KPS - KPS baru dengan persyaratan yang
lebih menguntungkan yaitu dengan perbandingan bagi
hasil 85 persen untuk Indonesia dan 15 persen
untuk kontraktor di daerah produksi 50 - 150 MBOPD (ribu barrel minyak per hari) dan
90 persen berbanding 10 persen untuk produksi di atas 150 MBOPD. Bahkan LNG yang
baru mulai diproduksi
pada Repelita III, sejak tahun 1977 sudah mampu diekspor dan menempatkan Indonesia sebagai negara
pengekspor LNG terbesar di dunia.
Seiring dengan meningkatnya
ekspor minyak bumi selama PJP I, Indonesia telah mampu mengembangkan usaha pemurnian dan
pengolahan minyak bumi, termasuk di bidang distribusi dan pelayanannya. Secara
bertahap dan terencana telah diterapkan pula teknologi maju dalam perluasan
kilang minyak, antara lain dengan pembangunan kilang hydrocracker dan penyempurnaan unit-unit pengolahan lainnya.
Pengembangan minyak bumi juga dilakukan dengan upaya rehabilitasi dan
pembangunan sarana penimbunan, pengangkutan melalui pipa laut, pipa penyalur,
depot, pelabuhan/ dermaga khusus dan fasilitas lainnya di seluruh Indonesia.
Upaya peningkatan produktivitas dilengkapi dengan pengaturan dan penyempurnaan organisasi
penyaluran dan distribusi bahan bakar
minyak serta gas bumi dengan
sebaik-baiknya. Dengan melakukan upaya tersebut, maka minyak bumi yang diolah
telah meningkat dari 211,2 ribu barel per hari pada awal PJP I menjadi 854,5
ribu barel per hari, atau meningkat
4 kali lipat pada akhir PJP I. Bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan
meningkat dari 52,2 juta barel pada awal PJP I menjadi 232,2 juta barel pada tahun terakhir
PJP I. Sarana
angkutan laut minyak bumi dapat ditingkatkan dari 672,7 ribu ton pada awal PJP I menjadi 4,4 juta ton pada
akhir PJP I. Sampai akhir PJP I untuk pelayanan distribusi BBM telah dibangun
92 depot laut, 18 depot darat, dan 43 depot pengisian pesawat udara
(DPPU), dengan jumlah kapasitas timbun
sebesar 2,4 juta kiloliter.
Dari segi penerimaan devisa, sektor migas telah memberikan
sumbangan besar terhadap pembangunan nasional selama PJP I, dan mencapai
puncaknya pada Repelita III yaitu sebesar 75 persen dari devisa yang
dihasilkan, atau 67 persen terhadap penerimaan negara. Walaupun kemudian
penerimaan pemerintah dan perolehan devisa dari sektor migas cenderung menurun karena peranan non
migas yang meningkat,
namun peranan sektor ini masih cukup besar sebagai sumber penerimaan negara dan
penghasil devisa.
Di
samping migas, bidang-bidang pertambangan lainnya juga berkembang. Antara lain
dengan dieksploitasikan dan dikembangkannya tambang tembaga dan emas secara besar-besaran di Irian
Jaya dan dibangunnya pabrik peleburan nikel
di Soroako, Sulawesi Selatan dan di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Produksi timah
juga dapat ditingkatkan, sehingga Indonesia merupakan salah satu pengekspor
timah terbesar di dunia. Beberapa produksi bahan tambang lainnya seperti perak,
bauksit, fosfat, dan bahan galian industri lainnya yang semula hanya dipakai untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri sudah mulai diekspor.
Produksi
batubara makin berkembang sebagai energi pengganti minyak bumi, dengan ditetapkannya
kebijaksanaan energi nasional tahun 1980. Produksi batubara meningkat pesat dari hanya 159,9 ribu ton pada awal PJP I menjadi 28,5
juta ton pada akhir PJP I. Ekspor batubara yang dimulai pada akhir Repelita II dengan
jumlah 27,3 ribu ton
telah meningkat menjadi 19 juta ton pada akhir PJP I dan menempatkan Indonesia
sebagai salah satu pengekspor batubara terkemuka di dunia. Menjelang akhir PJP
I, penggunaan briket batubara
untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil sudah mulai dimasyarakatkan, untuk menggantikan
minyak tanah dan BBM lainnya.
Di bidang
energi ketenagalistrikan mengalami perkembangan pesat terutama pada Repelita IV
dan V, sejalan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi terutama industri, dan peningkatan
pendapatan
masyarakat. Pada akhir PJP I diproduksi listrik sebesar 46.718,7 GWh;
dibandingkan dengan awal PJP I, meningkat 26 kali lipat. Produksi tenaga listrik juga sudah
dapat dinikmati oleh 31.689 desa melalui program pengembangan listrik perdesaan atau 48,7
persen dari jumlah seluruh desa. Selain itu, dengan dibangunnya sistem
interkoneksi Jawa-Bali, maka sistem kelistrikan di Jawa dan Bali bertambah
andal.
Peningkatan pembangunan di sektor pertambangan dan energi tidak terlepas dari dikembangkan
dan diselesaikannya sejumlah peta dan informasi geologi mengenai keberadaan sumber mineral
dan energi Indonesia. Pemetaan dan penyelidikan geologi juga telah berhasil
meningkatkan kesiapsiagaan dalam rangka mitigasi dan penanggulangan bencana
alam geologi, serta menjadi bahan bagi penataan ruang. Untuk itu selama PJP I antara lain telah
diselesaikan 90
persen peta geologi bersistem; 83 persen peta daerah bahaya gunung api; 46 persen pemetaan
batubara dan gambut; serta mulai
dilakukannya pemetaan geologi dasar laut dan pemboran
pengujian panas bumi.
Dengan berlandaskan hasil
pembangunan yang telah dicapai dalam PJP I, maka pembangunan pertambangan dan
energi akan dilanjutkan dan ditingkatkan dalam PJP II, diawali dengan
Repelita VI.
B. PERTAMBANGAN
1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan pertambangan
dalam Repelita VI adalah meningkatnya produksi dan diversifikasi hasil tambang
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan sumber energi primer, serta
meningkatnya ekspor dan pemenuhan keperluan masyarakat lainnya; terwujudnya
sistem pengelolaan pertambangan yang efisien dan produktif yang didukung oleh kemampuan
penguasaan teknologi dan sumber daya manusia yang
berkualitas; meningkatnya peranserta masyarakat dalam usaha pertambangan, terutama melalui
wadah koperasi; meluasnya pembangunan pertambangan di daerah guna mendukung
pengembangan wilayah, terutama kawasan timur Indonesia; dan tersedianya
pelayanan informasi geologi dan sumber daya mineral yang andal, baik untuk
eksplorasi lanjut, penataan ruang
maupun mitigasi bencana alam geologis.
Sasaran pembangunan pertambangan di bidang geologi
dan sumber daya mineral dalam Repelita VI, antara lain adalah penyelesaian
peta geologi dan daerah bahaya gunung api Indonesia, yang terdiri atas pemetaan dan
penyelidikan geologi dan geofisika sejumlah 104
peta; pemetaan dan penyelidikan geologi kelautan sejumlah 25
lembar peta dan 30
lokasi; inventarisasi dan pemetaan serta eksplorasi sumber daya mineral sejumlah 55
lembar peta dan 105 lokasi; dan pemetaan hidrogeologi sebanyak 25 lembar.
Di bidang pertambangan mineral dan
batubara sasaran yang hendak dicapai pada akhir Repelita VI, terutama, adalah
produksi batubara
mencapai 71 juta ton, produksi timah 40,3 ribu ton, produksi bijih nikel 2.750 ribu ton,
produksi bauksit 1 juta ton, produksi tembaga 1.761 ribu ton, produksi emas
70.600 kilogram dan Perak 143.000 kilogram. Di bidang minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi sasarannya dalam Repelita VI,
antara lain, adalah produksi minyak bumi dan kondensat sebesar 547,5 juta
barel, dan produksi gas bumi sebesar 2.960 miliar kaki kubik.
Pertumbuhan sektor pertambangan
diharapkan dapat mencapai rata-rata 2,6 persen per tahun selama Repelita VI.
Dengan tingkat pertumbuhan ini diharapkan bahwa sektor pertambangan dapat
meningkatkan kesempatan kerja dari sekitar 842 ribu orang pada tahun 1993
menjadi 989 ribu orang pada akhir Repelita VI. Dengan demikian, sektor
pertambangan diharapkan mampu menciptakan tambahan kesempatan kerja untuk 147 ribu orang selama
Repelita VI.
Penyerapan tenaga kerja ini terutama diharapkan terjadi dari makin tumbuh dan
berkembangnya usaha pertambangan rakyat, termasuk pertambangan skala kecil
(PSK) dalam bentuk koperasi.
Untuk mencapai berbagai sasaran tersebut, kebijaksanaan pembangunan pertambangan pada
pokoknya adalah mengembangkan informasi
geologi dan sumber daya mineral sebagai pendukung dasar pembangunan pertambangan;
memantapkan penyediaan komoditas mineral dan energi melalui peningkatan
produksi dan diversifikasi hasil tambang; meningkatkan peranserta rakyat dan
melestarikan fungsi
lingkungan hidup dalam pembangunan pertambangan; mengem‑
bangkan kemampuan sumber daya
manusia dan penguasaan teknologi pertambangan guna mendukung peningkatan
efisiensi serta produktivitas usaha pertambangan; dan mengembangkan iklim usaha, kemitraan berusaha serta sistem
pendukung lainnya bagi peningkatan efektivitas pembangunan pertambangan.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan
dan pencapaian berbagai sasaran pembangunan pertambangan, disusun serangkaian
program pokok yang terdiri dari program pengembangan geologi dan sumber daya
mineral meliputi geologi sumber daya mineral, geologi kelautan, geologi tata
lingkungan dan mitigasi bencana alam geologic; program pembangunan pertambangan
meliputi pertambangan batubara, pertambangan mineral, pertambangan minyak bumi,
gas bumi, dan panas bumi; dan program pengembangan usaha pertambangan rakyat
terpadu; serta didukung oleh program penunjang yaitu program penelitian dan
pengembangan pertambangan; program pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan
ketenagakerjaan pertambangan; program pembinaan dan pengelolaan lingkungan
hidup; program pengembangan usaha
nasional; dan program peningkatan kerjasama internasional.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita
VI
Pada tahun pertama Repelita VI, peningkatan produksi dan ekspor hasil pertambangan terlihat pada
hampir semua jenis mineral.
Selain itu, ditemukan sejumlah cadangan baru bahan tambang, baik dalam
jumlah besar maupun kecil yang segera dapat dieksploitasi secara ekonomis
seperti cadangan tembaga di Irian Jaya dan Nusa Tenggara Barat, gas alam di
Arun dan Bontang, beberapa lapangan minyak, cadangan batubara dan mineral logam
lainnya serta berbagai bahan galian industri.
Pembangunan pertambangan dalam tahun
pertama Repelita VI dilaksanakan menurut program sebagai berikut.
a. Program Pokok
1) Program Pengembangan Geologi
dan Sumber Daya Mineral
Dalam program
pengembangan geologi dan sumber daya mineral dilaksanakan penyelidikan geologi dan eksplorasi mineral
untuk meningkatkan
penyediaan informasi geologi dan potensi sumber daya mineral yang akurat dan lengkap, meliputi data
dasar geologi, potensi
sumber daya mineral, geologi kelautan, serta informasi geologi tata lingkungan dan mitigasi bencana
alam geologis, termasuk mendukung penyediaan informasi geologi bagi sektor pembangunan
lainnya.
Pada tahun pertama
Repelita VI telah dilakukan berbagai kegiatan inventarisasi dan pemetaan potensi geologi dan
sumber daya mineral, antara lain telah diselesaikan
pemetaan geologi bersistem dan pemetaan gaya berat di pulau Jawa dan Madura, dan pemetaan hidrogeologi Indonesia. Sementara
itu, pemetaan geologi bersistem di luar pulau Jawa sudah mencapai 91,0 persen, atau sebanyak
164 lembar peta. Pemetaan daerah bahaya gunung api mencapai 83,0 persen,
pemetaan topografi puncak gunung api 68,0 persen, pemetaan gaya berat luar pulau Jawa 43
persen, dan pemetaan gaya berat Indonesia 56,0 persen. Penyelesaian kegiatan pemetaan geologi lainnya masih relatif kecil, misalnya pemetaan
geologi dasar laut baru dapat diselesaikan 6,0 persen.
Kegiatan
inventarisasi dan eksplorasi sumber daya mineral sampai dengan tahun 1994/95 telah menyelesaikan
pemetaan geokimia
mineral sebesar 30,0 persen, dan
inventarisasi sumber daya mineral skala 1:250.000 sebanyak 53 peta atau 36,0 persen.
Kegiatan eksplorasi sumber daya mineral telah menghasilkan data perkiraan cadangan sumber daya mineral logam
timah 2,0 juta ton, nikel 901,2 juta ton,
bauksit 924,4 juta ton, emas 1,7 ribu ton, dan Perak 8,7 ribu ton. Perkiraan cadangan sumber
daya mineral industri, adalah sebagai berikut: batu kapur 30,0 miliar ton,
dolomit 1,5 miliar ton, kaolin 9,3 juta ton, pasir kwarsa 4,7 miliar ton, zeolit 207,0 juta ton, pirofilit 550,0 juta ton, granit 10,0 miliar ton,
dan marmer 8,6 miliar
ton. Selain itu, ditemukan juga cadangan lainnya sebagai hasil eksplorasi yang dilakukan oleh
pihak swasta seperti endapan emas di Grassberg, Irian Jaya dan Batuhijau, Sumbawa.
Sampai tahun 1994/95 peta potensi
sumber daya energi yang telah diselesaikan meliputi sebaran potensi panas bumi di Indonesia skala 1:1.500.000, pemetaan geologi panas bumi
skala 1:50.000 di 52 lokasi, penyelidikan geofisika
panas bumi di 19 lokasi, dan pemboran uji panas bumi di 2 lokasi. Potensi sumber daya energi
panas bumi diperkirakan mencapai 19.658 MW. Di samping itu, telah diselesaikan pula inventarisasi
batubara dan gambut skala 1:250.000 sebanyak 50,0 persen.
Pemetaan hidrogeologi di pulau
Jawa dan Madura dengan skala 1:250.000
sampai tahun 1994/95 telah mencapai 100,0 persen, dan di luar pulau Jawa dan Madura telah
diselesaikan sebesar 50,0 persen. Pemetaan geologi teknik pulau Jawa dan Madura
dengan skala 1:100.000 telah diselesaikan sebesar 21,0 persen. Selanjutnya,
penyelidikan potensi cekungan air tanah tingkat awal telah diselesaikan
sebanyak 105 cekungan, dan penyelidikan tahap rinci sebanyak 22 cekungan.
Sampai
dengan tahun pertama Repelita VI telah dilaksanakan pemetaan dan penyelidikan
mitigasi bencana alam geologis, yang sekaligus juga dapat mendukung kegiatan
penataan ruang, yaitu: pemetaan seismik daerah rawan gempa skala 1:250.000
sebanyak 8 peta; pemetaan geologi kuarter skala 1:50.000 sebanyak 17 peta; pemetaan geomorfologi skala 1:100.000 sebanyak 6
peta; pemetaan geologi gunung api skala 1:100.000 sebanyak 38
dari 129 gunung api; pemetaan daerah
bahaya gunung api skala 1:50.000 dari 91 gunung api; pemetaan topografi puncak gunung api skala 1:10.000 sebanyak 68 peta;
pemetaan topografi aliran lahar skala 1:10.000 sebanyak 20 peta;
pemetaan kerentanan gerakan tanah skala 1:100.000 sebanyak 13 peta;
pemetaan geologi teknik pulau Jawa skala 1:100.000 sebanyak 21,0 persen; dan
pemetaan geologi tata lingkungan skala 1:100.000 sebanyak 6 peta untuk beberapa
daerah tertentu. Dalam melakukan mitigasi bencana alam geologis, telah
dilaksanakan identifikasi 20 daerah
sesar aktif yang terbagi dalam 130 bagian sesar, pengamatan 59 gunung api, pemantauan di 5 lokasi daerah rawan longsor,
dan pemeriksaan tanah longsor di 20 lokasi (label XIV-1).
Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup telah dilaksanakan
pula berbagai
penyelidikan. Sampai tahun 1994/95 telah diselesaikan penyelidikan daerah geologi
kuarter dan seismotektonik pada 134 lokasi, dan penyelidikan geologi wilayah
pantai pada 51 lokasi. Penyelidikan diberbagai gunung api meliputi penyelidikan
potensi lahar/bahaya letusan pada 38 gunung api, penyelidikan kimia 24 gunung
api, penyelidikan fisika 19 gunung. api, penyelidikan penginderaan jauh .23
gunung api, dan penyelidikan seismik 18 gunung api. Penyelidikan geologi teknik
dilakukan sebanyak 246 penyelidikan meliputi penyelidikan pondasi, terowongan, bendungan, waduk, jalan raya, jalan kereta api, kemantapan
lereng, tanah lunak, dan likuifaksi. Penyelidikan geologi lingkungan perkotaan,
perdesaan,
pantai, pertambangan,
dan geologi lingkungan buangan limbah telah dilakukan di 124 lokasi.
Sampai dengan tahun
pertama Repelita VI telah terjadi beberapa bencana alam geologis baik besar maupun kecil yang
meliputi letusan gunung api, gempa bumi, tanah
longsor serta gelombang pasang yang menelan korban jiwa maupun harta benda. Untuk memberikan
peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam geologis tersebut,
pemantauan terhadap gunung api aktif dan
pemetaan geologi daerah rawan bencana terus dilakukan. Kewaspadaan ini
diberikan baik terhadap bahaya primer maupun sekunder, karena keselamatan
rakyat harus selalu mendapatkan perhatian yang utama.
2) Program
Pembangunan Pertambangan a) Pertambangan Batubara
Produksi batubara pada tahun
1994/95 mencapai 32.599,5 ribu ton, atau meningkat 14,1 persen dari tahun
sebelumnya. Dalam rangka penghematan penggunaan BBM,
batubara merupakan sumber energi pengganti minyak bumi yang utama untuk pembangkit energi listrik
dan industri semen, serta industri lainnya di dalam negeri. Ekspor batubara
juga meningkat dari 18.985,9 ribu ton pada tahun 1993/94 menjadi 22.080,0 ribu
ton pada tahun 1994/95, atau naik sebesar 16,3 persen (Tabel XIV-3). Kemajuan ini telah
menempatkan Indonesia
sebagai salah satu eksportir batubara terkemuka di dunia. Dalam upaya penganekaragaman
konsumsi energi untuk rumah tangga dan industri kecil terutama di daerah perdesaan,
pemasyarakatan pemakaian briket batubara sebagai pengganti BBM dan kayu bakar
terus diupayakan melalui kegiatan percontohan.
b) Pertambangan Mineral
Dalam tahun 1994/95 produksi logam timah mencapai 30,0
ribu ton atau turun sebesar 1,3 persen dibanding dengan akhir Repelita V (Tabel
XIV-4). Penurunan produksi ini disebabkan adanya pembatasan ekspor komoditi timah oleh Association of
Tin Producing Countries (ATPC) sejak tahun 1983 yang harus dipatuhi oleh negara anggotanya. Dewasa ini
harga timah di pasaran dunia sangat
berfluktuasi, namun produksi timah Indonesia masih dapat dipacu dengan meningkatkan efisiensi dan
daya saing, terlebih setelah
dilakukannya restrukturisasi pada PT Timah.
Produksi bijih nikel PT Aneka Tambang di wilayah Pomalaa
dan pulau Gebe sebagian besar diekspor
langsung, sisanya diolah di dalam negeri
menjadi ferronikel di pabrik Pomalaa. Hasi1 tambang nikel di Soroako diolah menjadi nikel
matte oleh PT Inco. Produksi bijih nikel dalam tahun 1994/95 mencapai
2.253,3 ribu ton atau meningkat sebesar 17,0 persen dibanding tahun 1993/94. Sejalan dengan ini,
produksi ferronikel dan nikel matte pada tahun 1994/95 masing-masing mengalami
peningkatan sebesar 33,1 persen dan 17,9 persen dibandingkan produksinya pada
tahun 1993/94 (Tabel XIV-5).
Produksi tembaga Indonesia dihasilkan oleh PT Freeport
Indonesia Company, yang memproses bijih tembaga menjadi konsentrat untuk
tujuan ekspor, karena belum adanya pabrik peleburan tembaga di dalam negeri.
Produksi konsentrat tembaga meningkat sebesar 15,6 persen yaitu dari 960 ribu
ton pada akhir Repelita V menjadi 1.109,3 ribu ton pada tahun 1994/95 (Tabel
XIV-6).
Emas dan Perak diperoleh sebagian
besar dari produk hasil ikutan yang
terkandung dalam konsentrat tembaga, disamping hasil tambang emas swasta yang
diproduksi dari cadangan baru yang cukup
potensial. Selain
itu, emas juga diproduksi secara sederhana oleh pertambangan rakyat setempat
baik secara resmi maupun pertambangan tanpa izin (PETI). Produksi emas dalam tahun 1994/95 adalah 45.272,1 kg atau meningkat
sebesar 3,1 persen dibanding dengan tahun sebelumnya. Produksi perak meningkat
pesat sebesar 71,8 persen dalam tahun 1994/95 menjadi 152.767,5 kg dibanding
dengan produksi tahun 1993/94 (Tabel XIV-7).
Seluruh hasil tambang bauksit di pulau Bintan diusahakan
oleh PT Aneka Tambang
untuk ekspor. Pada tahun 1994/95 produksi bauksit turun 16,1 persen dari tahun
1993/94. Karena Indonesia belum memiliki pabrik peleburan untuk mengolah bauksit menjadi alumina, maka produksi bauksit sangat
dipengaruhi oleh permintaan
pasar luar negeri.
Endapan
pasir besi yang terdapat di sepanjang pantai selatan pulau Jawa antara Cilacap dan
Yogyakarta memiliki kandungan titan yang cukup tinggi. Pengolahan lebih lanjut
pasir besi tersebut secara ekonomis belum menguntungkan jika digunakan untuk
bahan baku pembuatan besi baja. Saat ini pasir besi digunakan sebagai
bahan baku penolong industri
semen di dalam negeri. Produksi pasir besi pada tahun 1994/95 mengalami penurunan
6,7 persen dari produksi tahun 1993/94
sejak digunakannya fine pellets sebagai substitusi (Tabel XIV-8).
Produksi
bahan tambang lainnya meliputi semua mineral atau bahan galian bukan logam yaitu belerang,
fosfat, kaolin, pasir kwarsa, batu granit, bentonit, gamping, marmer, gips dan
lempung serta beberapa jenis bahan
galian lainnya yang banyak diusahakan oleh
rakyat setempat, koperasi, perusahaan swasta nasional, dan BUMN/BUMD
terutama untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam
negeri maupun ekspor. Hasil bahan galian industri ini
berkembang sejalan
dengan pertumbuhan industri pengolahannya di dalam negeri. Bahan galian industri gamping dan
lempung digunakan
sebagai bahan baku pada industri semen; kaolin sebagai bahan baku industri
keramik; batu granit dan marmer poles sebagai bahan bangunan; zeolit untuk
peternakan, perikanan dan pemurnian air; bentonit untuk pemurnian minyak goreng
dan lumpur bor; kapur, dolomit dan fosfat untuk. pertanian; serta pasir kwarsa
untuk pembuatan gelas.
Perkembangan produksi beberapa bahan galian industri pada
tahun 1994/95 dibanding dengan tahun 1993/94 adalah gips 700 ton, atau naik
18,2 persen; belerang 4.500 ton, atau naik sebesar 7,1 persen; produksi gamping
dan lempung sebagai bahan baku industri semen masing-masing sebesar 42,3 juta
ton dan 3,6 juta ton, atau meningkat masing-masing sebesar 5,0 persen dan 23,3
persen. Sementara
itu, produksi kaolin pada tahun 1994/95 mencapai 216 ribu ton, atau naik 3,0 persen dari tahun sebelumnya.
Begitu juga produksi pasir kwarsa mencapai 1,1 juta
ton, dari produksi pada tahun 1993/94 sebesar 1,1 juta ton, atau meningkat 2,7 persen. Produksi
marmer meningkat dari 1.893 ribu meter persegi (m2) dalam tahun
1993/94 menjadi 1.895 ribu meter persegi (m2) pada tahun 1994/95.
Pertumbuhan produksi bahan galian industri telah ikut memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan
peluang usaha di daerah sehingga membantu pula upaya pengentasan kemiskinan (Tabel XIV-9
dan Tabel XIV-10).
c) Pertambangan Minyak Bumi, Gas
Bumi, dan Panas Bumi
Produksi minyak bumi dan kondensat meningkat dari 559,9
juta barel pada tahun 1993/94 menjadi 591,6 juta barel pada tahun 1994/95 atau naik sebesar 5,6 persen, yang berarti lebih
tinggi 5,9
persen dari sasaran tahun pertama
Repelita VI sebesar 558,5 juta barel. Dengan meningkatnya produksi, ekspor
minyak bumi dan kondensat meningkat sebesar 8,3 persen, yaitu dari 294,3 juta
barel menjadi 318,8 juta barel.
Pengilangan minyak di dalam negeri
dalam tahun pertama Repelita VI menunjukkan penurunan sebesar 0,3 persen
dibanding dengan produksi tahun 1993/94. Selain itu, pemasaran BBM di dalam
negeri juga menurun sebesar 2,2 persen, yaitu dari 264,3 juta barel menjadi 258,5 juta barel (label
XIV.--11). Penurunan ini menunjukkan bahwa upaya diversifikasi dan
efisiensi pemakaian energi telah mulai dirasakan hasilnya.
Meskipun volume pemasaran BBM di
dalam negeri mulai menunjukkan penurunan, namun pelayanan distribusi dan
penyalurannya di dalam negeri terus ditingkatkan, sehingga mampu menjangkau
masyarakat di daerah dengan jumlah yang tepat. Untuk itu sarana pendistribusian
BBM meliputi sarana pengangkutan, pembekalan, sarana timbun dan bongkar muat,
serta terminal transit terus ditingkatkan menuju terbentuknya pola distribusi
nasional BBM yang efisien.
Produksi dan pemanfaatan gas bumi telah berkembang pesat, yaitu meningkat
sebesar 19,3 persen dari 2.502,0 miliar kaki kubik pada tahun 1993/94 menjadi
2.985,7 miliar kaki kubik pada tahun pertama Repelita VI. Pemanfaatan gas bumi
juga meningkat dari 93,0 persen pada tahun 1993/94, menjadi 94,6 persen.
Peningkatan tersebut antara lain disebabkan karena meningkatnya pengolahan gas
alam menjadi LNG pada Train E Bontang dan perluasan pada train lainnya, serta
meningkatnya pengolahan gas alam menjadi LPG. Peningkatan permintaan gas bumi
juga berkaitan dengan kebutuhan bahan baku dan energi untuk industri pupuk, semen,
besi baja dan
industri lainnya serta untuk
hotel, restoran dan rumah tangga. Selain itu, gas yang disalurkan sebagai bahan bakar pada
pembangkit energi listrik maupun
sebagai bahan baku industri petrokimia juga meningkat (Tabel XIV-13).
Produksi LPG selama tahun 1994/95 menurun sebesar 1,8
persen dari produksi tahun 1993/94, atau
turun dari 2.890,2 ribu ton menjadi 2.837,3 ribu ton. Adapun ekspor LPG selama periode yang
sama menunjukkan
penurunan sebesar 6,2 persen, yaitu turun dari 2.633,1 ribu ton menjadi 2.470 ribu ton.
Penurunan ekspor tersebut terpaksa dilakukan karena kebutuhan LPG di dalam
negeri yang meningkat dengan sebesar 27,0 persen (Tabel XIV-14). Meningkatnya
penggunaan LPG untuk keperluan rumah tangga dan industri di dalam negeri merupakan bagian dari upaya diversifikasi
energi untuk
mengurangi ketergantungan kepada BBM.
Di bidang transportasi, pemerintah terus mendorong
pemakaian Bahan Bakar
Gas (BBG) bagi kendaraan bermotor. Untuk tujuan tersebut sampai saat ini di Jakarta telah
dioperasikan sebanyak 9 buah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sebagai proyek percontohan, dan
3 buah lainnya masih dalam tahap pembangunan.
Indonesia mempunyai potensi sebaran energi panas bumi yang cukup besar di Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Maluku. Berdasarkan hasil survey eksplorasi panas
bumi yang dilakukan,
telah berhasil diidentifikasikan 217 lokasi yang mempunyai prospek untuk dikembangkan dengan jumlah potensi
lebih dari 19.658 MW.
Selama tahun 1994/95 telah dilakukan pemboran 3 sumur eksplorasi dan 8 sumur
pengembangan, serta 142 sumur pemboran panas bumi. Sumber panas bumi tersebut,
telah dimanfaatkan untuk pembangkit energi listrik berkekuatan 309,5 MW dan
telah menghasilkan energi listrik sebesar 1.868 GWh selama 1994/95.
Share